Ketika Sertifikasi Guru Dikomersilkan


Beberapa hari terakhir, dunia pendidikan kembali diramaikan dengan rencana pemerintah untuk memprofesionalkan guru melalui program sertifikasi guru baik melalui jalur Portofolio, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) maupun Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ini menarik, mengingat tahun ini terjadi banyak perubahan pada sistem sertifikasi guru, tetapi yang paling menarik dari semua perubahan itu adalah untuk menjadi seorang profesional guru harus membayar.

Dari beberapa postingan rekan guru maupun pemerhati pendidikan, terungkap nantinya peserta sertifikasi guru yang harus membiayai sendiri program sertifikasinya adalah peserta pada jalur pendidikan profesi guru (PPG), sedangkan peserta melalui jalur portofolio dan PLPG biaya sertifikasinya akan didanai pemerintah.

Bagi guru yang sertifikasinya melalui jalur PPG pasti terselip pertanyaan. Mengapa di saat guru lain proses sertifikasinya dibiayai pemerintah, mereka harus membiayai sendiri sertifikasinya? Apakah guru yang diangkat mulai 31 Desember 2005 ke atas sedemikian tidak berkompeten, sehingga pemerintah “menghukum” ketidakkompetenan tersebut dengan jalan guru membiayai sendiri serti­fikasinya?

Dua pertanyaan tersebut sangat layak dilontarkan, mengingat jalur sertifikasi yang pembiayaannya dilakukan sendiri oleh guru mengesankan pemerintah berlepas tangan terhadap kualitas guru, padahal secara “sah” guru tersebut (merupakan pegawai pemerintah). Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan guru dalam proses sertifikasi cukup besar, menurut informasi adalah lima belas juta rupiah. Dengan nilai sebesar itu semakin meneguhkan fakta bahwa sertifikasi guru saat ini dikomersilkan.

Terlepas dari besarnya biaya sertifikasi guru, jika proses sertifikasi guru jalur PPG yang dilaksanakan nantinya hanya berupa pemberian materi/kuliah dan praktik mengajar, hal tersebut tentunya tidak akan berpengaruh besar terhadap keprofesionalan guru. Mengingat, hal tersebut sudah guru jalani selama bertahun-tahun sebelum dinyatakan secara resmi menjadi guru. Apakah pemerintah belum tahu jika guru yang saat ini menjadi pegawainya telah cukup lama dicekoki dengan materi dan praktik mengajar saat kuliah?

Seharusnya, perguruan tinggi yang meluluskan mahasiswa keguruan dan saat ini telah menjadi guru serta berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), wajib memberikan rekomendasi bahwa guru bersangkutan benar-benar layak menyandang gelar sarjana pendidikan (baca: profesional). Karena hal tersebut jelas tercantum dalam ijazah sarjana pendidikan strata satu yang di dalamnya berbunyi; “Setelah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan untuk memperoleh ijazah tersebut kepadanya diberikan hak untuk memakai gelar Sarjana Pendidikan (SPd), serta segala wewenang dan hak yang berhubungan dengan ijazah yang dimilikinya”.

Bukankah pernyataan dalam ijazah tersebut menjelaskan secara legal bahwa semua guru lulusan fakultas keguruan layak dan berhak atas segala sesuatu yang terkait dengan profesinya sebagai guru, termasuk di dalamnya pengakuan keprofesionalan guru? Sayangnya, perguruan tinggi hanya diam dan seakan membenarkan klaim pemerintah bahwa perkuliahan yang telah mereka laksanakan tidak berkualitas, sehingga mahasiswa lulusannya wajib kuliah lagi (baca: mengikuti pendidikan profesi guru).

Bertolak dari hal tersebut, jika sertifikasi guru jalur PPG tetap harus dilaksanakan dengan membayar, maka sebagai guru tentunya sangat layak meminta agar materi selama PPG tidaklah sama dengan materi pada saat kuliah keguruan strata satu. Sedikit mengingatkan, ketika kuliah S1 guru telah diajarkan untuk menjadi seorang profesional antara lain dengan menguasai keterampilan dasar mengajar yang meliputi: 

(1) Keterampilan bertanya (questioning skills). Dengan tidak kita sadari bertanya memegang peranan penting, sebab dengan pertanyaan yang tersusun baik dan pelontaran yang tepat akan memberikan dampak yang positif kepada peserta didik. 

(2) Keterampilan memberi penguatan (reinforcement skills) yaitu segala bentuk respons, baik berupa verbal maupun nonverbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa yang bertujuan memberikan informasi atau umpan balik (feedback) bagi siswa atas perbuatannya sebagai bentuk dorongan ataupun koreksi. 

(3) Keterampilan melakukan variasi (variation skills). Variasi stimulus merupakan kegiatan guru dalam konteks proses interaksi belajar mengajar yang ditujukan untuk mengatasi kebosanan peserta didik, sehingga pembelajaran senantiasa menunjukkan ketekunan, antusiasme, dan partisipasi aktif peserta didik.

(4) Keterampilan menjelaskan (explaning skills). Keterampilan dalam menyajikan informasi secara lisan yang diorganisasikan secara sistemik untuk menunjukkan adanya hubungan antara hal yang satu dengan yang lain. 

(5) Keterampilan membuka dan menutup pelajaran (set induction and closure). Set induction adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan prokondisi agar perhatian peserta didik terpusat pada apa yang akan dipelajari. Closure ialah kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri pelajaran yaitu dapat dengan mengambil kesimpulan atas pelajaran yang sudah dilaksanakan, atau mengukur tingkat pencapaian kompetensi siswa.

(6) Keterampilan membimbing diskusi kelompok. Kemampuan dalam mengatur sekelompok peserta didik dalam interaksi tatap muka dengan berbagai pengalaman atau informasi, pengambilan kesimpulan atau pemecahan masalah. 

(7) Keterampilan mengelola kelas. Merupakan keterampilan guru dalam menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal atau mengembalikan ke keadaan belajar yang optimal jika terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar.

Jadi, materi PPG diharapkan tidak lagi mengulang materi tersebut, tetapi lebih menekankan pada peningkatan kualitas sebagai guru, bukan materi tentang mencetak/menjadi guru karena semua peserta PPG faktanya sudah menjadi guru. Materi PPG diharapkan menitikberatkan pada kemampuan guru dalam hal publikasi ilmiah, kemampuan dalam presentasi sebagai narasumber maupun lomba, kemampuan membuat PTK, cara memasukkan karya ilmiah dalam jurnal ilmiah, kemampuan membimbing siswa dalam kegiatan berbagai lomba, dan lain lain.

Selain itu, pemberi materi pada program PPG diharapkan adalah pakar yang telah membuktikan kapasitas dirinya dengan prestasi, bukan pemateri yang hanya membuat guru mengantuk dan tidak memiliki prestasi apa pun.

Pelaksanaan sertifikasi guru jalur PPG dengan membayar sangat wajar disikapi dengan kritis. Meski demikian, hal positif dari kontribusi membayar tersebut pasti ada, minimal guru akan lebih proaktif dalam pelaksanaan dan evaluasi terhadap PPG yang sudah dilaksanakan, sehingga harapan sertifikasi guru dapat mencetak guru profesional dapat terwujud. Semoga!
Oleh: Muhammad Syamsuri MPd
Guru SMAN 2 Kintap

0 Response to "Ketika Sertifikasi Guru Dikomersilkan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel